KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA

 on Selasa, 20 November 2012  


Oleh : Slamet Riyadi  ( Pelatih PMI Kabupaten Pemalang )

A. Indonesia adalah negeri yang sarat dengan bencana alam.
Tengoklah musibah datang silih berganti :
1. Gempa bumi dan tsunami  di  Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara 26 Desember 2004
2. Gempa bumi Yogyakarta 26 Mei 2006,
3. Tsunami di pantai Selatan Jawa pada 26 Juli 2006.
4. Gempa di Tasikmalaya 26 Juni 2009
5. Tsunami di Mentawai dan Merapi meletus 26 Oktober 2010
Kesemuanya adalah suatu momentum berharga bagi pemerintah dan bangsa Indonesia. Yang menunjukkan bahwa nyata betul bahwa negara ini begitu tidak berdaya menghadapi musibah tersebut.  Bahwa,  ternyata kita belum memiliki manajemen penanggulangan bencana yang baik.
Contoh :
Tsunami pantai selatan Jawa 26 Juli 2006 , menelan korban ± 531 jiwa dan 280 jiwa lainnya hilang, sedangkan kerusakan fisik yang luar biasa besarnya, terpaan tsunami mengoyak daratan hingga 300 meter jauhnya.
Sebenarnya skala kerusakan dapat diminimalisir apabila : (1) negara Indonesia memiliki manajemen peringatan dini yang baik, (2) cepat belajar dari  tsunami Aceh-Sumut 2004.
Karena Hawai Pacific Tsunami Warning Center dan Japan Meteorological Agency sebelumnya telah mengingatkan (warning) kemungkinan  terjadinya tsunami 15 menit setelah gempa terjadi.   Dan,  memang tsunami kemudian menyapu pantai selatan Jawa  45 menit setelah gempa terjadi tanpa ada peringatan dari pemerintah pusat/pemerintah setempat ( medianya-pun terbatas).  Tak ada alarm ataupun sirine di pinggir pantai yang setiap saat dapat difungsikan.
Maka, tak heran apabila mudah sekali timbul informasi menyesatkan pasca bencana.  Bahwa tsunami akan kembali datang, ombak telah sampai pinggir pantai, dan sebagainya.  Sehingga membuat masyarakat setempat kembali panik dan berlarian tak beraturan hingga kembali memakan korban jiwa.
Terlepas dari kenyataan bahwa bencana alam adalah bagian dari takdir Illahi, sehingga seringkali tak bisa dicegah,  namun manusia memiliki kekuatan akal dan pengetahuan yang semestinya bisa dimaksimalkan untuk mereduksi atau meminimalisir bahaya (damages) bencana alam.
Dalam suatu lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle) ada dua kegiatan besar yang dilakukan:
1. sebelum terjadinya bencana (pre event), dapat berupa:
a. disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana)
b. disaster mitigation (mengurangi dampak bencana).  Ada juga yang menyebut istilah disaster reduction,
c. perpaduan dari disaster mitigation dan disaster preparedness (Makki, 2006).
2. setelah terjadinya bencana (post event), dapat berupa:
a. disaster response/emergency response (tanggap bencana),
b. disaster recovery.
Selama ini,  kita lebih banyak melakukan kegiatan pasca bencana (post event) berupa emergency response dan recovery daripada kegiatan sebelum bencana berupa disaster reduction/mitigation dan disaster preparedness.
Padahal,  apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sebelum bencana,  kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian (damages) yang mungkin timbul ketika bencana.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan sebelum bencana dapat berupa:
a. pendidikan peningkatan kesadaran bencana (disaster awareness),
b. latihan penanggulangan bencana (disaster drill),
c. penyiapan teknologi tahan bencana (disaster-proof),
d. membangun sistem sosial yang tanggap bencana,
e. perumusan kebijakan-kebijakan  penanggulangan bencana (disaster management policies).
B. Kebijakan yang Memprihatinkan
1. Kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia bisa dibilang memprihatinkan.   Apabila kebijakan tersebut harus dituangkan melalui Undang-Undang,  maka kenyataannya sampai sekarang kita belum memiliki UU Penanggulangan Bencana ataupun kebijakan terpadu sejenis yang berkekuatan hukum untuk menangani bencana dan pengungsi (semacam disaster management act).
2. Dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2005 - 2009 pemerintah dan DPR  cenderung lebih memprioritaskan  pengundang-undangan:
a. RUU bidang ekonomi (sebanyak 28 RUU),
b. Bidang politik (sebanyak 14 RUU), dan
c. RUU tentang Manajemen/ Penanganan Bencana tidak diprioritaskan dan tidak disebutkan sama sekali.
d. Barulah ketika bencana tsunami dan gempa bumi Aceh/ Sumut tahun 2004 terjadi,  desakan untuk lahirnya UU ini begitu mengemuka dan kini UU ini tengah dalam proses pembahasan yang entah kapan akan diundangkan.
3. Regulasi yang tersedia :
Tahun Jenis Tentang
1979 Keputusan Presiden No. 28 tahun 1979 dibentuk BAKORNAS PBA
1990 Keppres No. 43 tahun 1990 penyempurnaan BAKORNAS PBA menjadi BAKORNAS PB (berfokus pada bencana alam & bencana ulah manusia).
1999 Keppres Nomor 106 tahun 1999 BAKORNAS PB disempurnakan lagi dengan yang memberikan tugas tambahan kepada Bakornas PBP untuk juga menangani dampak kerusuhan sosial dan pengungsi
2001 Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No.  2 tahun 2001 Tahap penyelamatan; tahap pemberdayaan; tahap rekonsiliasi; dan tahap penempatan.  
Kegiatan penanganan pengungsi meliputi : (1) penyelamatan , (2) pendataan , (3) bantuan tanggap darurat; dan (4) pelibatan masyarakat/ LSM  (Sekretariat Bakornas PBP, 2001).

2001 Keppres No. 3 tahun 2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang diketuai oleh Wakil Presiden dan Sekretaris Wakil Presiden secara ex officio menjadi Sekretaris Bakornas PBP
2001 Keppres No. 111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres RI No. 3 tahun 2001
C. Pengalaman Jepang
Jepang adalah negara Asia yang memiliki karakteristik hampir sama dengan Indonesia dalam hal saratnya terjadi bencana.  Terletak pada zona mobil circum-Pacific  dan memiliki kondisi geografi, topografi, dan meteorologi yang khas, membuat gempa bumi, hujan deras dan banjir, letusan gunung api,  hujan salju berskala besar, hingga badai (typhoon) sangat sering terjadi di Jepang setiap tahunnya.  Bedanya,  negara ini memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana yang amat baik.  Termasuk,  dimilikinya sejumlah regulasi dan kebijakan yang mendukung pelaksanaan manajemen penanggulangan bencana terpadu.
Sebelum tahun 1960,  Jepang belumlah memiliki kebijakan penanganan bencana yang terpadu (integrated disaster management).  Titik baliknya terjadi sejak terjadi badai besar Ise-Wan pada tahun 1959 yang disebut sebagai  the Epoch-Making Turning Point.  Sejak itu pendekatan penanggulangan bencana berubah dari response oriented approach kepada  preventive approach.  Kemudian dari Individual approach menjadi comprehensive multi-sectoral approach.  Juga,  dibenamkan sejumlah besar investasi untuk program-program pengurangan resiko bencana (Investment for disaster reduction).
Pada tahun 1961 Jepang melahirkan Disaster Countermeasures Basic Act (1961) yang mengatur dan memiliki sejumlah elemen antara lain :
Pendirian Dewan Penanggulangan Bencana (Disaster Management Council) di tingkat nasional, prefektur, kota/ municipality berkoordinasi dengan organisasi-organisasi multi sektoral.
Pemantapan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan) di tingkat nasional, prefektur, dan kota/ municipality.
Pemantapan markas pusat yang bersifat ad hoc dan kerjasama multisektoral untuk respon gawat darurat .
Penanggulangan bencana alam di Jepang dilakukan utamanya oleh pemerintah kota/ municipal.  Apabila skalanya terlalu besar, maka pemerintah prefektur dan nasional akan turun tangan.  Upaya koordinatif dan integratif semacam ini yang didukung  oleh program promosi konservasi bumi tingkat nasional, peningkatan teknologi meteorologi,  penyempurnaan sistem komunikasi bencana dan manajemen bencana,  telah terbukti dapat mengurangi dampak bencana dan meminimalisir korban jiwa dalam bencana di Jepang selama ini.
Faktor sukses berikutnya,  adalah tersedianya sejumlah besar kebijakan penanggulangan bencana yang komprehensif dan integratif.   Bahkan,  tak hanya sejak tahun 1960.  Kebijakan setingkat Undang-Undang (act) ini telah dirintis sejak tahun abad 18-an dan berlanjut hingga kini.   Adapun daftar kebijakan-kebijakan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut :
D. Daftar UU terkait Penangglangan Bencana Alam di Jepang
 TAHUN JENIS UNDANG-UNDANG
1880 Provision and Saving Act for Natural Disaster
1896 River Act
1897 Erosion Control Act Forest Act
1899 Disaster Preparation Funds Special Account Act
1908 Flood Prevention Association Act
1911 Flood Control Expenditure Funds Special Account Act
1947 Disaster Relief Act Fire Organization Act
1948 Fire Service Act
1949 Flood Control Act
1950 Temporary Measures Act for Subsidizing Recovery Projects for Agriculture, Forestry and Fisheries Facilities Damaged due to Disasters
1951 Act concerning National Treasury Share of Expenses for Recovery Projects for Public Civil Engineering Facilities Damage due to Disasters
1952 Meteorological Service Act
1955 Temporary Measures Act for Financing Farmers, Forestrymen and Fishermen Suffering from Natural Disasters
1956 Seashore Act
1958 Landslide Prevention Act
1960 Soil conservation and Flood Control  Urgent Measures Act
1961 Disaster Countermeasures Basic Act
1962 Act of Special Countermeasures for Heavy Snowfall Area
Act concerning special financial support to deal with the designated disaster of extreme severity.
1964 River Act (revised)
1966 Act for Earthquake Insurance
1969 Act Concerning Prevention of Steep Slope Collapse Disaster
1970 Marine Pollution Prevention Act
1972 Act Concerning Special Financial Support for Promoting Group Relocation for Disaster Mitigation
1973 Act Concerning Improvement etc. Or Refugee etc. In Vicinal Areas of Active Volcanoes (revised to the Act on Special Measures for Active Volcanoes in 1978) Act for the payment of Solatia for Disaster
1975 Industrial Complexes and Other Petroleum Facilities
1978 Large Scale Earthquake Countermeasures Special Act (Basic Plan for Earthquake Disaster Prevention)
1980 Special fiscal Measures Act for Urgent Improvement Project for Earthquake Countermeasures in Areas under Intensified Measures Against  Earthquake Disaster
1987 Act Concerning Dispatch of Japan Disaster Relief Team
1995 Act for the Statement of Principles and Organization of the Great Hanshin-Awaji Earthquake Revival
Partial Revision of Disaster Countermeasures Basic Act
Earthquake Disaster Management Special Measures Act
Partial revision of Disaster Countermeasures Basic Act and Large Scale Earthquake Countermeasures Special Act
Act for promotion of the earthquake proof retrofit of Buildings
1996 Act Regarding Special Measures to Weigh the Preservation of Rights and Profits of the Victims of Specified Disasters
1997 Act of Densely Inhabited Areas Improvement for Disaster Mitigation
1998 Act concerning support for reconstructing livelihoods of disaster victims
1999 Special Measures of Nuclear Disaster Act
2000 Sediment Disaster Countermeasures for Sediment Disaster Prone Areas Act

E. Menuju Kebijakan Penanggulangan Bencana yang Integratif
Indonesia hendaknya belajar dari pengalaman Jepang yang begitu reaktif dan responsif dalam menghadapi bencana alam.  Sebagai negara yang sarat bencana dengan bentangan alam yang jauh lebih luas serta jumlah penduduk yang jauh lebih banyak,  semestinya kita tak bertaruh lagi untuk masalah ini.
Indonesia hendaknya segera merintis dan mengembangkan program-program dan kegiatan-kegiatan kesiapsiagaan terhadap bencana.  Pendidikan sadar bencana dan latihan menghadapi bencana mesti segera dibiasakan.  Pusat-pusat studi dan pelatihan  menghadapi bencana wajib untuk dimunculkan dan didukung sepenuhnya.  Juga, kebijakan dan manajemen penanggulangan bencana mesti segera ditata dan dilahirkan.
Indonesia harus segera melahirkan kebijakan penanganan bencana yang komprehensif dan integratif.
1. Kebijakan ini dapat bernama UU Penanggulangan Bencana atau apapun.
2. Mengingat  banyaknya permasalahan di bidang penanggulangan bencana, maka,  perlu ada kebijakan yang integratif.
a. Semisal,  mengamandemen UU terkait di wilayah lain (kehutanan, lingkungan hidup, pertambangan, sumber daya air, dll),  supaya selaras dengan semangat penanggulangan bencana.
b. Ataupun membuat UU baru yang belum banyak dijangkau selama ini. (misalnya,  memiliki UU tentang sungai, tentang banjir,  tentang polusi di laut, tanah longsor,  hingga penanggulangan bahaya nuklir, seperti di Jepang).
3. Untuk membuat UU yang lengkap dan integratif memakan waktu dan dana,  maka saat ini diprioritaskan menyegerakan lahirnya UU Penanggulangan Bencana (yang mudah-mudahan segera diikuti oleh UU terkait di wilayah yang lain).
4. Maka, tunggu apa lagi?  Mari segera kita realisasikan kebijakan-kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia dan kita budayakan hidup dalam kesiapsiagaan terhadap bencana.  Atau,  anak bangsa kita akan mengalami lagi kerugian dan kehilangan yang besar pada bencana alam yang akan datang.  Wallahualam...
Sumber :
Heru Susetyo. Visiting Researcher Disaster Prevention Research Institute Kyoto University /  Staf Pengajar Fakultas Hukum UI Depok e-mail : hsusetyo@ui.ac.id/h-susetyo@drs.dpri.kyoto-u.ac.jp

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA 4.5 5 Unknown Selasa, 20 November 2012 Oleh : Slamet Riyadi  ( Pelatih PMI Kabupaten Pemalang ) A. Indonesia adalah negeri yang sarat dengan bencana alam. Tengoklah musibah ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar